Hakikat dan Keutamaan Ilmu
Keutamaan Ilmu dan Ulama
Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa melakukan suatu amal tanpa landasan ilmu maka apa-apa yang dia rusak itu justru lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” (Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman; sebab makanan dan minuman diperlukan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sepanjang waktu.” (al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 91)
Suatu ketika ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Lelaki itu bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!”. Ibnu Mas’ud menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133])
Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa berpandangan bahwa berangkat di awal siang atau di akhir siang untuk menghadiri majelis ilmu bukanlah jihad, maka sungguh akal dan pikirannya sudah tidak beres.” (al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 6).
Abu Hurairah dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma berkata, “Sebuah bab tentang ilmu yang kamu pelajari lebih kami cintai daripada seribu raka’at sholat sunnah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26). Abu Ja’far al-Baqir Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain rahimahullah berkata, “Seorang alim [ahli ilmu] yang memberikan manfaat dengan ilmunya itu lebih utama daripada tujuh puluh ribu orang ahli ibadah.” (Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131).
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu jika disertai dengan niat yang lurus.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26). Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan lurus niatnya.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)
Ilmu, Cahaya Di Tengah Kegelapan
Berjalan di tengah siraman cahaya hidayah dan semerbak ketaatan merupakan nikmat yang sangat agung. Sebaliknya, tenggelam dalam kegelapan kesesatan dan genangan maksiat merupakan bencana yang amat sangat mengerikan.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar darinya? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-An’aam: 122)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengenai tafsiran ayat ini, “Orang itu -yaitu yang berada dalam kegelapan- adalah dulunya mati akibat kebodohan yang meliputi hatinya, maka Allah menghidupkannya kembali dengan ilmu dan Allah berikan cahaya keimanan yang dengan itu dia bisa berjalan di tengah-tengah orang banyak.” (al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 35)
Orang-orang yang beriman, mendapat anugerah bimbingan dari Allah untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya. Adapun orang-orang kafir yang jelas-jelas menentang ayat-ayat-Nya dan berpaling dari petunjuk Rabbnya, maka ‘pembimbing’ mereka adalah thoghut, yang justru mengeluarkan mereka dari cahaya menuju gelap gulita.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang kafir itu penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan.” (QS. al-Baqarah: 257)
Cahaya yang menerangi perjalanan hidup hamba dan menuntunnya menuju keselamatan adalah cahaya al-Qur’an dan iman. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dahulu kamu -Muhammad- tidak mengetahui apa itu al-Kitab dan apa pula iman, akan tetapi kemudian Kami jadikan hal itu sebagai cahaya yang dengannya Kami akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba-hamba Kami yang Kami kehendaki.” (QS. asy-Syura: 52)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Dan sesungguhnya kedua hal itu -yaitu al-Qur’an dan iman- merupakan sumber segala kebaikan di dunia dan di akherat. Ilmu tentang keduanya adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Bahkan pada hakekatnya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya selain ilmu tentang keduanya.” (al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 38).
Perumpamaan Ilmu Seperti Air Hujan
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang keras sehingga hanya bisa menampung air dan -dengan demikian- orang-orang bisa mendapatkan manfaat darinya. Mereka mengambil air minum untuk diri mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi tanam-tanaman. Hujan itu juga menimpa jenis tanah lain yang licin, ia tidak bisa menahan air tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang aku bawakan.” (HR. Bukhari)
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan antara hujan dengan ilmu agama. Beliau berkata, “Sebagaimana hujan akan menghidupkan tanah yang mati (gersang), demikian pula ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang mati.” (Fath al-Bari [1/215]). Imam Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran bahwa tidak akan bisa menerima petunjuk dan agama yang diturunkan Allah kecuali orang yang hatinya bersih dari syirik dan keragu-raguan.” (Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [1/163])
Antara Ilmu dan Amalan
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya maka dia telah mengikuti jalannya orang yang dimurkai –al-maghdhubi ‘alaihim-. Adapun apabila dia beramal namun tanpa landasan ilmu maka dia telah mengikuti jalannya orang yang sesat –adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih (Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 21)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia biasa mengerjakan sholat. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku berkata, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut penuntut ilmu.” (Tsamrat al-‘Ilmi al-‘Amal, hal. 36-37)
Imam Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (al-Fawa’id, hal. 34)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak/menyimpang diantara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk menuntut ilmu.” (Tsamrat al-‘Ilmi al-‘Amal, hal. 44-45)
Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu untuk mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, “Wahai anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya. Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.” (Ta’thir al-Anfas, hal. 579)
Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitabullah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam.” (Ta’thirul Anfas, hal. 570)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para ulama suu’/jahat duduk di depan pintu surga seraya menyeru manusia supaya masuk ke dalamnya dengan ucapan lisan mereka. Akan tetapi mereka mengajak kepada neraka dengan amal perbuatan mereka. Setiap kali ucapan mereka mengajak manusia, “Kemarilah!” maka perbuatan mereka justru berkata, “Jangan kalian dengarkan ucapannya.” Karena seandainya apa yang dia serukan adalah kebenaran niscaya dia adalah orang yang pertama kali melakukannya. Mereka itu secara lahir tampak sebagai pemberi petunjuk, akan tetapi pada hakikatnya mereka adalah perampok.” (al-Fawa’id, hal. 60)
Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu tidak mau bermaksiat kepada Allah selama sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya tidak dengan ucapan semata.” (al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)
Hakikat Ilmu dan Ulama
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu saja.” (QS. Fathir: 28). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini artinya, setiap orang yang semakin berilmu tentang Allah niscaya dialah orang yang lebih banyak takut kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah akan memunculkan sikap menahan diri dari kemaksiatan-kemaksiatan dan bersiap-siap untuk berjumpa dengan Dzat yang ditakutinya (Allah)…” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 756)
Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.” (Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan…” (dinukil dari Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39)
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ia adalah cahaya yang Allah berikan ke dalam hati. Syaratnya adalah ittiba’/setia mengikuti tuntunan, meninggalkan hawa nafsu/penyimpangan dan tidak melakukan bid’ah.” (Ma’alim fi Thariq Thalab al-‘Ilmi, hal. 40)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit.” (Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 40)
al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Ibnu Mas’ud pernah mengatakan, ‘Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai bukti keilmuan.’ Kurangnya rasa takut kepada Allah itu muncul akibat kurangnya pengenalan/ma’rifah hamba kepada-Nya. Oleh sebab itu, orang yang paling mengenal Allah ialah yang paling takut kepada Allah di antara mereka. Barangsiapa yang mengenal Allah, niscaya akan menebal rasa malu kepada-Nya, semakin dalam rasa takut kepada-Nya, dan semakin kuat cinta kepada-Nya. Semakin pengenalan itu bertambah, maka semakin bertambah pula rasa malu, takut dan cinta tersebut….” (adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/97])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap orang yang merasa takut kepada-Nya, lantas menunaikan ketaatan kepada-Nya yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka dialah sesungguhnya orang yang alim/berilmu.” Suatu ketika, ada orang yang berkata kepada asy-Sya’bi, “Wahai sang alim/ahli ilmu.” Maka beliau menjawab, “Kami ini bukan ulama. Orang yang alim adalah orang yang senantiasa merasa takut kepada Allah.” (adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/98])
Oleh sebab itu para salaf/pendahulu yang salih menyebut semua orang yang berbuat maksiat -meskipun dia mengetahui- sebagai orang yang jahil/bodoh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya taubat itu akan diterima oleh Allah hanyalah bagi orang-orang yang melakukan keburukan dengan sebab kebodohan, kemudian mereka bertaubat dalam waktu yang dekat.” (QS. an-Nisaa’: 17). Abul ‘Aliyah mengatakan, “Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tentang makna ayat ini, mereka berkata, ‘Semua orang yang bermaksiat kepada Allah maka dia adalah jahil/bodoh, dan semua orang yang bertaubat sebelum meninggal maka dia telah bertaubat dalam waktu yang dekat’.” Mujahid berkata, “Setiap orang yang berbuat maksiat maka dia adalah bodoh ketika melakukan maksiatnya itu.” (al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 21)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Bukanlah seorang alim [ahli ilmu] orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan akan tetapi sesungguhnya orang yang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu berusaha menjauhinya.” (Min A’lam as-Salaf [2/81])
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata diperoleh dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)
Oleh sebab itu pula salafus shalih/pendahulu yang salih menjadikan ketakwaan sebagai standar keilmuan. Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah ditanya mengenai orang yang paling faqih/berilmu di antara ahlul Madinah? Beliau menjawab, “Yang paling bertakwa di antara mereka.” (Ta’liqat Risalah Lathifah oleh Abul Harits at-Ta’muri, hal. 44)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu lebih diutamakan daripada perkara yang lain karena dengannya -manusia- bisa bertakwa.” (Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 30)
Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, “Takwa adalah kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah disertai rasa takut akan siksaan dari Allah.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/222])
Sebagian Tanda Dekatnya Hari Kiamat
Hancurnya alam dunia ini -dengan terjadinya kiamat- akan didahului dengan hancurnya pilar-pilar penegak kemaslahatan hidup manusia yang menopang urusan dunia dan akherat mereka. Di antara pilar tersebut adalah; agama, akal, dan garis keturunan/nasab. Rusaknya agama akibat hilangnya ilmu. Rusaknya akal akibat khamr. Adapun rusaknya nasab adalah karena praktek perzinaan yang merajalela di mana-mana (Fath al-Bari [1/218])
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari dan Muslim) (Syarh Muslim [8/267]). Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut (Fath al-Bari [1/237]).
Hal itu sebagaimana telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim) (Syarh Muslim [8/269])